Fenomena dan isu-isu spasial-global, baik
fisik-alamiah maupun sosial-budaya yang terjadi dipermukaan bumi sebagai ruang
hidup serta kehidupan, merupakan sumber kajian yang menantang studi geografi.
Fenomena dan isu-isu tersebut, wajib menjadi pengetahuan tiap orang, terutama
peserta didik yang mempelajari geografi. Oleh karena itu, menjadi tantangan
bagi guru geografi untuk mengantisipasinya menjadi bahan pembelajaran yang
bermakna, agar masyarakat, khususnya peserta didik tidak menjadi korban masalah
spasial-global yang sedanag melanda kehidupan dewasa ini, dan hari-hari
mendatang. Hanya disini, bagaimanakah kemampuan profesional guru-guru geografi
dilapangan mampu menjadikan fenomena spasial-global itu menjadi materi
pembelajaran yang mengembangkan pola pikir peserta didik menghadapi
masalah-masalah spasial-global yang tidak terpisahkan dari kehidupan
PENGANTAR
Fenomena apapun dalam ruang peermukaan bumi, baik itu fisikal-alamiah, maupun
sosial-budaya, tidak dapat melepaskan diri dari perubahan. Bahkan dalam bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), khususnya teknologi
informasi-komunikasi, perubahan itu sangat mengarus. Kita, terutama guru, lebih
khusus lagi guru geografi, harus berupaya terhindar dari korban perubahan,
namun berupaya mengendalikan perubahan itu (Masters of Change:Boast, W.M.,
Martin, B.:2001). Salah satu perubahan yang dialami oleh guru di lapangan,
tidak terkecuali guru geografi, yaitu perubahan kurikulum di tingkat sekolah
yang tidak jarang “membingungkan”. Perubahan kurikulum ini memang
“tuntutannya”, mengantisipasi perubahan yang sedang mengarus dalam kehidupan,
terutama perubahan-perubahan yang terjadi pada aspek-aspek sosial-budaya,
ekonomi, dan politik. Namun demikian, dilancarkan perubahan kurikulum tersebut,
tidak dilandasi oleh kesiapan/persiapan guru sebagai ujung tombak dilapangan.
Idealnya, guru, khususnya guru geografi sebagai orang lapangan, dengan
kemampuan dan kematangan profesional, mampu mengantisipasi perubahan-perubahan
tadi. Namun dalam kenyataan, lebih banyak kebingungan dari pada siap
mengantisipasinya. Kadar profesional guru, khususnya guru geografi, masih
hartus ditingkatkan. Salah satu prinsip profesional guru menurut Undang-undang
RI No. 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen (Bab III, Pasal 7): “memiliki
kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan
belajar sepanjang hayat”.
FENOMENA DAN ISU-ISU
SPASIAL-GLOBAL
Kehidupan manusia saat ini, dihadapkan pada kenyataan perubahan yang mengarus
sebagai dinamika fisikal-alamiah, dan terutama perkembangan sosial-budaya.
Pertumbuhan penduduk dunia, termasuk pertumbuhan penduduk Idonesia yang terus meningkat,
menjadi faktor pendorong pertumbuhan kebutuhan (needs), baik kuantitas maupun
kualitas yang juga meningkat. Kemajuan dan pemanfaatan IPTEK dalam mengolah
sumberdaya lingkungan (alam, sosial, budaya), sudah merupakan tuntutan yang
tidak mungkin dicegah. IPTEK yang dilematik antara kadar positif (rahmat) dan
negatif (laknat), harus menjadi kepedulian bersama untuk mengelolanya.
Penerapan dan pemanfaatan IPTEK yang tidak terkendali, yang mengabaikan
asas-asas ekologi dan kelestarian, telah membawa dampak negatif terhadap
keseimbangan dan kelestarian lingkungan sebagai sumberdaya.
Fenomena dan masalah-masalah spasial-global yang sedang melanda kehidupan
dewasa ini, meliputi ;
- produktivitas pangan yang menurun, dan bahaya kelapan sebagai akibat gagal
panen karena cuaca serta musim yang tidak menentu;
- erosi, banjir, tanah longsor dan kekeringan akibat rusaknya kawasan penampung
hujan (catchment area), daerah resapan, dan areal hutan lindung, sebagai akibat
pembalakan liar (illegal loging) yang tidak terkendali, serta pembangunan fisik
(pemukiman, gedung-gedung, jalan) yang tidak memperhatikan drainase dan daerah
resapan;
- pencemaran lingkungan (udara, air, tanah, suara) yang diakibatkan oleh
pembangunan ekonomi (industri, pertambangan) yang tidak menerapkan AMDAL
sebagaimana seharusnya.
- Pemanasan global (global warming), sebagai akibat terjadinya “efek rumah
kaca” (green house effects) dari pencemaran udara yang makin meningkat
(industri/pabrik, kendaraan bermotor), serta diperkuat oleh rusaknya kawasan
hijau(pertamanan, hutan, jalur hijau) yang berfungsi menyerap gas-gas buangan.
- Fenomena gempa bumi, tsunami, gelombang pasang, letusan gunung api yang tidak
dapat dilepaskan dari perilaku manusia (dalam penerapan, dan menggunakan IPTEK)
yang mengabaikan perilaku serta dinamika fenomena alam (percobaan ledakan
nuklir liar, penggunaan bahan peledak untuk menangkap ikan).
- Pengangguran dan kemiskinan yang meluas, sebagai akibat kesenjangan antara
pertumbuhan penduduk, terutama pertumbuhan angkatan kerja dengan peluang,
lapangan serta kesempatan kerja yang terbatas, dan diperkuat oleh
ketidakseimbangan sumber-sumber kesejahteraan dampak dari kemiskinan
struktural.
Fenomena dan masalah spasial-global tadi, menjadi tantangan bagi guru geografi
dan bidang studi geografi, untuk dijadikan materi pembelajaran bagi peserta
didik serta juga masyarakat, dalam membina kesadaran dan keterampilan
antisipatif terhadap masalah-masalah diatas, sehingga tidak menjadi korban,
bahkan dapat mengatasinya.
Guru, khususnya guru geografi dilapangan, masih belum mampu mengembangkan kadar
profesional menjabarkan fenomena dan masalah-masalah spasial-global ke dalam
materi pembelajaran geografi yang aktual, masih terikat oleh buku teks yang
ada. Hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari beban pokok dalam melepaskan diri
dari kehidupan yang menghimpit, akibat tidak seimbangnya penghasilan dengan
biaya hidup yang dalam kenyataanya masih berat. Untuk mengembangkan kemampuan
profesional sebagai “guru profesional” menurut prinsip profesional
(undang-undang no 14/2005): “memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai
dengan prestasi kerja”. Jika penghasilan yang dirumuskan oleh undang-undang itu
telah jelas pada kenyataan, menjadi pendorong bagi guru, khususnya guru
geografi untuk meningkatkan prestasi sebagai ciri profesionalisme, sehingga
beban hidup yang menghimpit tidak lagi merupakan maslah, bahkan menjadi
pendorong realisasi kinerja profesional. Sepanjang kebutuhan hidup pokok belum
terpenuhi secara wajar sesuai dengan martabat kemanusiaan, sepanjang itu pula
kualitas kerja profesional, sukar terlaksana.
Dalam perkembangan arus kehidupan yang makin mengarah pada sifat materialistik
yang dapat dikatakan makin jauh dari nilai-nilai moral, kedudukan guru,
termasuk guru geografi sebagai pendidik yang menjadi “ujung tombak” pembinaan
sumberdaya manusia yang berkualitas sesuai dengan tuntutan jaman, hanyalah
sebatas “wacana”. Sementara itu, bidang-bidang politik yang tidak langsung
berhubungan dengan peningkatan pembinaan sumberdaya manusia generasi mendatang,
memperoleh imbalan yang tinggi bila dibandingkan dengan penghasilan guru yang
langsung berhubungan dengan proses “penciptaan” generasi yang idealnya
berkemampuan kompetitif di ditengah-tengah arus kemajuan dan persaingan.
PENGEMBANGAN PROFESI
GURU
Secara reguler, paling tidak, kurukulum di tingkat sekolah dikembangkan
(pengembangan kurikulum, curriculum development) tiap lima tahun. Hal tersebut,
berkedudukan penting untuk menyesuaikan materi pendidikan dan pembelajaran
dengan kemajuan serta tuntutan perubahan kehidupan dengan segala aspeknya.
Apabila tidak ada pengembangan kurikulum (oleh orang lapangan/guru, lebih
dirasakan sebagai perubahan kurikulum), pendidikan dan pembelajaran disekolah
akan keringgalan jaman.
Namun demikian, bagaimanapun baik dan indahnya kurikulum hasil pengembangan
sesuai dengan tujuannya, belum tentu berhasil mencapai sasaran serta tujuan,
apabila guru sebagai orang lapangan, tidak dipersiapkan dan memiliki kesiapan
untuk mengimplementasikannya. Oleh karena itu, pengembangan atau pembaruan atau
perubahan itu, harus didahului oleh pengembangan kemampuan guru sebelum
kurikulum itu dilaksanakan di lapangan sebagai prasyaratnya. Pengembangan atau
pembaruan atau perubahan itu, terutama jika terjadi “bertubi-tubi” dalam jangka
waktu yang singkat, kurang dari lima tahun, menyebabkan terjadi “kebingungan”
dalam diri guru sebagai pelaksana di lapangan. Apabila guru mengalami
kebingungan, bagaimanakah implementasi di lapangan, jadinya.
Keberhasilan guru, termasuk guru geografi di lapngan, melaksnanakan tugas
sesuai dengan tujuan pendidikan dan pembelajaran, tercermin pada kemampuannya
menjabarkan, memperkaya, memperluas, dan “menciptakan” kesesuaian serta
keserasian kurikulum dengan realita fenomena dan isu-isu spasial-global, perkembangan
IPTEK, serta perubahan sosial pada umumnya. Melalui mekanisme yang demikian
itu, proses pendidikan dan pembelajaran, dapat memenuhi kebutuhan peserta didik
sesuai dengan tujuan pendidikan, membina manusia indonesia yang terampil,
berpengetahuan, berilmu, berakhlak mulia sebagai calon sumberdaya manusia
Indonesia yang modern. Oleh karena itu, sebagaimana yang tercantum dalam
undang-undang RI, No. 14 Tahun 2005, Bab I, Pasal 1. “Guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar dan menengah”.
Kadar profesional guru itu, termasuk guru geografi, tidak akan lahir begitu
saja, melaikan melalui proses pembinaan yang bertahap dan berkesinambungan.
Secara formal, tingkat profesional tersebut, diproses pada lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan (LPTK) di perguruan tinggi. Secara non formal, melalui
kegiatan pelatihan, seminar, lokakarya, sarasehan, diskusi, dan sebangsanya.
Secara individual guru masing-masing melakukan pengembangan pribadi (personal
development) seperti yang dikemukakan oleh Jansen Sinamo dalam buku : 8 ETOS
KERJA PROFESIONAL (2005), yang antara lain “Bergurau pada dongeng, berguru pada
Kitab Suci, bergurau pada biografi, dan berguru pada buku-buku mencapai
sukses”. Dengan demikian, membina profesional itu, tidak hanya terbatas pada
pendidikan formal dan non formal, melainkan terutama juga sangat bergantung
pada dorongan diri pribadi untuk mencapainya. Dalam buku The Seven Habits of
Higly Effective People, Stephen R. Covey (1994), antara lain “mengemukakan
kebiasaan-kebiasaan proaktif, sinergi, dan asah gergaji”.
“Iqra” – bacalah, perintah Tuhan ini hanya ditujukan kepada manusia, makhluk
hidup yang paling sempurna diantara makhluk-makhluk hidup lain, non manusia.
“Membaca” dalam konsep ini, memiliki konotasi yang luas, bukan hanya membaca
“teks” hitam diatas putih saja, melainkan membaca dalam arti yang
seluas-luasnya, meliputi membaca fenomena alam, air muka – perangai orang,
tanda-tanda jaman, dan kecenderungan-kecenderungan yang mungkin terjadi di
hari-hari mendatang. Guru geografi yang profesional, harus memiliki kemampuan
“Iqra” ini, dalam membaca fenomena dan isu-isu spasial-global yang menjadi
objek studi geografi. Perintah “Iqra” ini hanya ditujukan kepada manusia
sebagai “makhluk pembaca”. Membaca, memiliki makna yang luas dalam menimba
pengetahuan, ilmu, dan teknologi. Dari kemampuan membaca ini, dapat
mengembangkan kemampuan lain, yaitu menulis, baik artikel-artikel pendek, mapun
buku-buku. Konsep Jansen Sinamo “berguru pada kitab suci, Biagrafi dan
Buku-buku Mencapai Sukses, hakikatnya adalah membaca”.
Makna lain yang ada dalam diri manusia, termasuk dalam diri guru geografi, yaitu
“manusia sebagai makhluk pembelajar” (Andrias Hafera:2000). Belajar bagi
manusia, termasuk bagi guru geografi, merupakan proses sepanjang hayat, mulai
dari saat lahir, sampai meninggal. Kemampuan membaca dan belajar pada diri
manusia menghasilkan budaya/kebudayaan (Koentjaraningrat :1990:180). Kemampuan
mengajar, sesungguhnya lahir dari kemampuan belajar yang bermakna (meaningfull
learning) sesuai dengan ilmu pokok dan bidang tugas yang menjadi tanggung
jawab. Guru profesional, khususnya guru geografi yang profesional, harus
memiliki dan mengembangkan kemampuan belajar, supaya memiliki kemampuan
mengajar secara profesional. Idealnya, membaca (iqra) dan belajar harus menjadi
kebiasaan (habit), sehingga pengetahuan, khususnya pengetahuan geografi selalu
aktual serta riil.
Bagi guru, termasuk guru geografi, kebiasaan proaktif (jemput bola), tidak
menunggu datang/adanya buku paket/buku teks, melainkan secara aktif mencari
sumber-sumber yang aktual (pustaka, grafika, elektronika, nara sumber) yang
sesuai dengan pengetahuan pokok dan tugas pendidikan serta pembelajaran
geografi yang memperkokoh kemampuan profesional. Kebiasaan bekerja sendiri
sebagai guru profesional, merupakan hal yang sangat bermakna atas keyakinan dan
harga diri. Namun demikian, bagaimanapun kita memiliki kelemahan yang
“barangkali” dapat teratasi dengan kerjasama dengan pihak lain. Oleh karena
itu, kebiasaan bersinergi, bukan hanya sebagai karakter makhluk sosial saja,
melainkan juga untuk mengatasi kelemahan pribadi, bahkan juga untuk membantu
pihak lain yang ada dalam keterbatasan. Karakter profesional, bukan hanya
dicirikan oleh kekuatan atas kemampuan pribadi, juga harus tercermin dari
kemampuan bekerjasama.
Kebiasaan asah gergaji seperti dikonsepkan oleh Stephen R. Covey (1984), dikaji
dari kadar profesional guru, khususnya guru geografi, memiliki makna yang
strategis. Guru geografi profesional, harus tetap menjaga aktualisasi diri,
tetap segar (ever green) akan pengetahuan, ilmu, dan informasi baru sesuai
dengan perkembangan fenomena serta isu-isu spasial global baru. Dengan demikian
pola pikir (mindset) selalu sesuai dengan perkembangan dan tuntutan jaman.
Kebiasaan asah gergaji ini, mekanisme dan prosesnya, melalui membaca
pustaka-pustaka yang baru, kegiatan ilmiah (penelitian, seminar, diskusi,
sarasehan) serta mengikuti informasi-informasi aktual melalui multi-media
(grafika, elektronik, film), baik langsung maupun tidak langsung. Dengan
demikian, mindset kita selaku guru geografi, tetap segar, tidak menjadi kuno.
Pengembangan kadar profesional guru, khususnya guru geografi secara formal,
dilakukan melalui pendidikan formal, baik pendidikan akademik maupun pendidikan
profesional (pendidikan kedinasan) atau bahkan kedua-duanya. Dengan demikian,
secara akademik dan formal, dalam diri kita selaku guru, khususnya guru
geografi. Berkaitan dengan undang-undang, tingkat profesional ini secara formal
harus ada sertifikatnya. Oleh karena itu, harus ada pengujian formal, sehingga
mendapat pengakuan.
Pengembangan dan pembinaan kadar profesional, seperti telah dibahas di atas,
secara informal dilakukan sendiri oleh guru yang bersangkutan melalui
pengembangan diri (personal development) dengan membaca, belajar mandiri,
melakukan kebiasaan-kebiasaan yang sesuai serta bermakna terhadap tuntutan
tugas guru geografi. Secara non formal, dilakukann melalui kegiatan-kegiatan
ilmiah seperti sarasehan, diskusi, seminar, lokakarya, dan pelatihan-pelatihan
yang mendukung peningkatan kemampuan profesional. Dengan kegiatan-kegiatan yang
terarah, baik informal maupun nonformal, kemampuan profesional itu sebagai guru
geografi, pada kadar nonformal, dapat vterbina. Namun demikian, menurut
undang-undang, konsep profesional itu dirumuskan (Undang-undang RI, No. 14
Tahun 2005, Bab I, Pasal 1, ayat 4) sebagai berikut :
“Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan
menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau
kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan
pendidikan profesi”.
Di sini jelas, bahwa profesional secara formal, tidak hanya berdasarkan
kegiatan informal dan nonformal semata, melainkan harus dapat diukur secara
formal berdasarkan hasil pendidikan profesi, yang mau tidak mau melalui
pendidikan formal akademik, terutama pendidikan profesi melalui kedinasan atau
lembaga pemerintahan (Dinas, Departemen). Profesional itu, dibuktikan oleh
sertifikat pendidikan sebagai pengakuan kepada guru selaku tenaga profesional.
Pembeerian sertifikat ini melalui proses “sertifikasi” yang dilakukan oleh
Dinas atau Departemen Pendidikan Nasional.
Dari uraian singkat diatas, berikut ini akan disampaikan beberapa butir
pernyataan sebagai kesimpulan.
KESIMPULAN
1. Fenomena dan isu-isu spasial-global sebagai akibat proses dinamika geosfer,
merupakan tantangan bagi guru geografi untuk dijabarkan menjadi materi
pembelajaran yang bermakna untuk peserta didik.
2. Penjabaran fenomena dan isu-isu spasial-global yang dialami saat ini,
menuntut kemampuan profesional guru geografi untuk menjabarkan ke dalam materi
pembelajaran yang membekali peserta didik.
3. Pengembangan kurikulum yang kenyataannya di lapangan sebagai perubahan
kurikulum, merupakan suatu tuntutan antisipatif terhadap perkembangan dan
perubahan dinamika geosfer, baik fenomena fisikal-alamiah maupun sosial-budaya.
4. Pengembangan ataupun perubahan kurikulum, menuntut kemampuan profesional
guru geografi utnuk menjabarkannya ke dalam materi pembelajaran sesuai dengan
kebutuhan peserta didik sebagai subjek pelaku pada kehidupannya.
5. Pada kenyataan saat ini, karena berbagai hal yang menghimpit kehidupan guru,
khususnya kehidupan guru geografi, tuntutan profesional di atas, baru merupakan
tantangan yang belum mampu diantisipasi oleh kemampuan yang masih harus
dikembangkan.
6. Pengembangan profesional guru, termasuk guru geografi, secara nonformal,
dapat dilakukan sendiri oleh guru geografi melalui kegiatan-kegiatan
pengembangan pribadi (personal development) seperti membaca dalam arti yang
seluas-luasnya, belajar, baik secara individual, maupun secara nonformal yang
meliputi diskusi, sarasehan, seminar, lokakarya serta pelatihan-pelatihan.
7. Pengembangan kebiasaan-kebiasaan yang bermakna yang meliputi proaktif,
sinergi, dan asah gergaji, juga merupakan kesempatan yang sangat fungsional
serta strategis membangun kemampuan profesional.
8. Berdasarkan Undang-undang Guru dan Dosen, kemampuan profesional itu harus
secara formal melalui pendidikan profesi dibawah tanggungjawab Pemerintah,
Dinas serta Departemen. Profesional ini harus dibuktikan oleh sertifikat
melalui proses sertifikasi.
Demikianlah lontaran singkat ini disampaikan pada kesempatan yang sangat
berharga sekarang. Dengan harapan ada manfaatnya bagi kita bersama, terutama
bagi pendidikan geografi yang sedang ditantang oleh berbagai perkembangan dan
perubahan yang sedang mengarus.
PUSTAKA RUJUKAN
Andrias Hafera (2000), Menjadi Manusia Pembelajar, Jakarta, PT. Kompas Media
Nusantara.
Boast, W.M., Martin, B. (2001), Masters of Change, Jakarta, PT. Elex Media
Komputindo Kelompok Gramedia.
Covey, S.R. (1994), The Seven Habits of Higly Effective People, Jakarta, PT.
Gramedia Asri Media.
Dweck, C.S. (2007), Change Your Mindset, Change Your Life, Jakarta, PT. Serambi
Ilmu Semesta.
Hall. D. (1976), Geography and Geography Teacher, London, George Allen & Unwin
Ltd.
Jansen Sinamo (2005), 8 Etos Kerja Profesional, Jakarta, Institut Darma
Mahardika.
Merryfield, M.M., Jarchow, E., Pickert, S., editor (1997), Preparing Teachers
to Teach Global Perspectives, California, Corwin Press, Inc.
Nursid Sumaatmadja (2002), Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi, Bandung,
Penerbit Alfabeta.
Syafrudin Nurdin (2005), Guru Profesional & Implementasi Kurikulum, Jakrta,
Penerbit Quantum Teaching.
Sztompka, P. (2004), Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta, Prenada Media.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005, Tentang Guru dan Dosen,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Williams, M., editor (1976), Geography and The Integrated Curriculum, London,
Heinemann Educational Books.